PaXXcell Antibiotik New Era
Disusun oleh : drh Andik Prastiawan
Marketing Team PT Novindo Agritech Hutama
Sebagai negara agraris, Indonesia merupakan negara produsen produk pertanian ke-10 terbesar di dunia. Sektor pertaniannya memberikan kontribusi sebesar 15 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan 38 persen terhadap lapangan kerja (OECD, 2015). Salah satu produk pertanian tersebut adalah sapi perah dan sapi potong.
Menurut Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2018, populasi ternak ruminansia untuk sapi pedaging sejumlah 17.050.000 ekor dan sapi perah sejumlah 550.000 ekor. Populasi tersebut mengalami peningkatan dari tahun 2017 untuk sapi pedaging sejumlah 16.429.000 ekor dan sapi perah sejumlah 540.000 ekor. Provinsi jawa timur merupakan penyumbang kontribusi utama nasional yaitu sapi potong sejumlah 4.657.567 ekor dan sapi perah sejumlah 283.311 ekor.
Salah satu permasalahan di ternak ruminansia adalah lost post calving atau terjualnya sapi karena penyakit infeksius maupun non infeksius setelah melahirkan. Penyakit non infeksius yang sering dialami oleh sapi seperti Milk fever, DCS (Downer Cow Syndrome), Ruminal Acidosis, RFM (Retained Fetal Membrane), LDA (Left Displasia Abomasum) dan Ketosis. Sedangkan penyakit infeksius yang sering dialami oleh sapi adalah Infeksi Saluran Reproduksi dan Enteritis (Nusdianto, 2013).
Infeksi pada saluran reproduksi merupakan kejadian yang umum terjadi pada sapi selama periode setelah melahirkan (postpartum). Ketika proses melahirkan berlangsung dan segera setelah proses melahirkan selesai, normalnya, uterus akan terkontaminasi oleh berbagai macam mikroorganisme baik patogen maupun non-patogen. Sebagian besar bakteri akan dieliminasi oleh mekanisme pertahanan yang ada di dalam saluran reproduksi. Namun jika ada organisme patogen yang berhasil menembus mekanisme pertahanan serta bertahan di dalam saluran reproduksi, akan menyebabkan penyakit di saluran reproduksi.
Bakteri yang sering menginfeksi saluran reproduksi sapi adalah Actinomyces pyogenes, Fusobacterium necrophorum, Bacteroides melaninogenicus, hemolytic streptococci, staphylococci, coliform dan Pseudomonas aeruginosa. Bahkan Clostridium spp. juga dapat menginfeksi dan menyebabkan metritis gangrene atau tetanus parah. Dan sebagian besar dari organisme tersebut selama masa postpartum akan memproduksi penicillinase. Dengan adanya penicillinase ini dapat menghilangkan efek penicillin yang diberikan sebelum 30 hari postpartum melalui intrauterina.
Sapi dengan abnormalitas postpartum seperti hypocalcemia, distokia dan RFM lebih beresiko terhadap infeksi uterus dibanding dengan sapi normal. Pemberian ceftiofur secara sistemik yang berhubungan dengan distokia, RFM, atau keduanya, dapat mengurangi kejadian metritis hingga 70% dibandingkan dengan sapi yang tanpa dilakukan pemberian antibiotik.
Beragam antibiotik yang berspektrum luas direkomendasikan dengan pemberian injeksi pada kasus infeksi saluran reproduksi seperti antibiotika Penicillin ataupun analog sintetiknya. Ceftiofur (generasi ke 3 cephalosporin) merupakan antobiotik spektrum luas yang efektif untuk bakteri Gram-positif dan Gram-negatif yang menyebabkan metritis. Ceftiofur dapat menembus semua lapisan uterus tanpa menimbulkan residu pada susu. Pemberian ceftiofur subkutan dengan dosis 1 mg/kg pada sapi perah postpartum menghasilkan konsentrasi ceftiofur dan metabolitnya aktif dalam plasma, jaringan uterus dan cairan lochia, efektif untuk menangani metritis. Pemberian ceftiofur dosis 2,2 mg/kg selama lima hari berturut turut, sama efektifnya dengan pemberian procaine penicillin G atau procaine penicillin G plus oxytetracycline infusi intrauterine.
Selain itu, Ceftiofur juga memiliki efikasi yang lebih baik terhadap beberapa bakteri pathogen, yang jika dibandingkan dengan golongan ampicillin bisa puluhan atau ratusan kali perbedaan efikasinya. Seperti bakteri penyebab kasus BRD (bovine respiratory disease), Pasteurella haemolytica, Pasteurella multocida dan Haemophilus somnus. Dan juga bakteri-bakteri patogen lainnya seperti Fusobacterium necrophorum, Bacteroides melaninogenicus, Escherichia Coli, dan Salmonella typhimurium.
Berikut ini perbandingan ED (Efectif Dose) 50 dari Ceftiofur dengan Ampilicin terhadap beberapa bakteri patogen.
Tabel 1. Perbandingan ED 50 dari Ceftiofur dengan Ampicilin
PaXXcell yang berbahan aktif 1 gram atau setara dengan 1.000 mg Ceftiofur Sodium ini, merupakan antibiotika generasi ke 3 dari golongan Cephalosporin. PaXXcell dikemasan dalam sediaan vial dan berupa serbuk, sehingga disediakan pula pelarutnya sebanyak 20 ml dalam satu paket penjualannya. Setelah PaXXcell dilarutkan, dapat disimpan selama 12 jam pada suhu ruang (15-30°C) dan selama 7 hari jika disimpan di dalam suhu refrigerator (2-7°C). Mekanisme kerja antibiotik ini bekerja dengan jalan menghambat sintesis lapisan peptidoglikan dari dinding sel bakteri.
PaXXcell juga memiliki daya larut yang sangat baik bahkan terhadap Butaphosphan dan Vitamin B12 sekalipun. Hal tersebut dikarenakan adanya proses Lyophilization pada pembuatan produk tersebut. Lyophilization adalah proses penarikan kadar air di dalam produk tanpa melalui fase cair. Produk akan dibekukan terlebih dahulu, kemudian ditempatkan dalam keadaan vakum, diikuti oleh perubahan es dari bentuk padat menjadi uap tanpa melalui fase cair terlebih dahulu.
PaXXcell memiliki beberapa keunggulan seperti hanya membutuhkan 1 jam saja untuk mencapai puncak plasma dan tidak ada withdrawal periode sehingga tidak ada akan residu antibiotika dihasil olahan ternak tersebut.
Gambar 3. Sediaan PaXXcell
Pustaka:
Kementrian pertanian direktorat jendral peternakan dan kesehatan hewan. 2018. Statistik Peternakan dan kesehatan hewan 2018. Page 82-83.
Triakoso.2013. Penyakit infeksius pada ternak . Pengamdian masyarakat universitas airlangga 2013. Page 1-10
Divers J. Thomas. 2008. Rebhun’s Disesase of Dairy Cattle second Edition. Page 154-158.