Oxidative Stress Symposium 2014 Dampak Radikal Bebas pada Perunggasan

Keberadaan radikal bebas pada manusia dapat memberikan dampak penuaan dini. Begitu pula
halnya pada perunggasan, keberadaan radikal bebas dinilai memberikan dampak yang negatif
terhadap produktifitas sehingga perlu penanganan khusus dan terintegrasi.

Novus Agritech Hutama bekerjasama dengan Novus Indonesia telah mengadakan seminar yang diselenggarakan di dua kota besar dengan sukses. Seminar yang diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 9 September dan di Jakarta pada tanggal 10 September membahas mengenai radikal bebas di perunggasan yang dapat memberikan dampak buruk bagi produktifitas ternak unggas.

Seminar menghadirkan 3 orang pembicara, yakni Xabier Arbe Ugalde yang merupakan Regional Technical Manager South East Asia Pacific, Tony Unandar selaku Privat Poultry Farm Consultant, serta Rey Agra, DVM yang merupakan Regional Product Manager APEC – Minerals and Pigments Novus International Pte Ltd. Xabier Arbe Ugalda, Regional Technical Manager South East Asia Pasific menjelaskan radikal bebas adalah atom, molekul atau senyawa yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Sifat dari radikal bebas adalah tidak stabil, sangat reaktif sehingga dapat merusak molekul biologis tubuh seperti DNA, protein, lemak, dan karbohidrat yang ditemuinya. Kerusakan terjadi ketika pertemuan radikal bebas dengan molekul lain dan berusaha menemukan elektron baru sebagai pasangannya. Radikal bebas menarik elektron dari molekul terdekat (tetangga). Akibatnya, molekul yang terkena berubah menjadi radikal bebas baru. Radikal bebas yang baru ini kemudian akan menarik sebuah elektron dari molekul berikutnya. Imbasnya, terjadilah reaksi berantai produksi radikal bebas. Reaksi berantai radikal bebas sering berakhir dengan menghapus elektron dari suatu molekul sehingga molekul tersebut mengalami perubahan. Peristiwa semacam itu apabila mengenai sisi fungsional/aktif suatu molekul akan
menyebabkan molekul tersebut menjadi tidak berfungsi (disfungsional). Menurut Xabier dalam tubuh harus ada keseimbangan antara radikal bebas yang ada dengan sistem anti oksidan, jika terjadi ketidakseimbangan maka bisa menyebabkan masalah, salah satunya adalah terjadi wet dropping (berak air). Dalam sistem tubuh normal radikal bebas merupakan produk samping dalam melakukan proses metabolisme produksi energi berupa Adenosin Triphosphayte (ATP) di mitokondria tepatnya interlaminar space. Dalam tubuh ada dua fungsi utama penggunaan energi, yaitu sebagai maintenence (pemeliharaan) serta untuk pertumbuhan atau bisa juga untuk produksi. “Jika dalam tubuh banyak radikal bebas maka energi untuk pertumbuhan menjadi berkurang, karena terkuras untuk membantu dalam pemeliharaan. Akhirnya, produksi juga akan berkurang,” Tegas Xabier Adanya radikal bebas ini adalah sebagai bahan pemicu terjadinya oksidatif stres. Penyebab dari oxidatif stres itu beragam dimana salah satunya adalah penyakit. Infectius Brochitis (IB) pada layer misalnya, karena ada terjadi infeksi IB maka banyak radikal bebas yang diproduksi oleh tubuh untuk mentralisir virus IB tersebut, akibatnya energi terkuras untuk menyeimbangkan sisa radikal bebas dari reaksi tersebut, maka produksinya jadi menurun. Kondisi lingkungan (stres panas, stres dingin, ventilasi berkurang, transport) juga bisa sebagai pemicu, begitu juga status fisiologi (pertumbuhan cepat, kegemukan, dan fase akhir kebuntingan). “Pada pertumbuhan cepat, maka tubuh ayam akan melakukan produksi ATP sebagai sumber energy yang semakin cepat pula, sehingga produk samping dari proses untuk menghasilkan ATP yang berupa radikal bebas, juga semakin banyak, dan energi yang dibutuhkan untuk menetrasilir radikal bebas itu juga semakin banyak,“ terang Xabier. Pemicu oxitadif stres terakhir adalah pakan. Kandungan pakan yang berpotensi sebagai pemicu adalah asam lemak tidak jenuh teroksidasi, kekurangan mineral dan vitamin. Pakan yang banyak minyak/lemak maka akan mudah teroksidasi, akibatnya akan mengakibatkan oksitaif stres pada ayam yang mengkonsumsinya.

Sementara itu Tony Unandar, Private Poultry Farm Consultant, mengungkapkan bahwa antara oxidatif stress dan heat stress sering kali masih terkait satu sama lain. Suhu normal pada ayam berkisar antara (39.5 – 41)°C, maka jika suhu tubuh ayam melebihi ambang batas tersebut dapat dikatakan ayam mengalami heat stress. Menurut Tony, kondisi heat stress sekarang ini tidak hanya terjadi pada siang hari, bisa juga terjadi pada malam hari. Jika heat stress pada ayam di siang hari lebih disebabkan oleh suhu yang memang tinggi dan tidak mampu tertangani dengan baik. Sedang, pada malam hari lebih disebabkan oleh kelembaban yang cukup tinggi, sehingga tetap menimbulkan panas di dalam kandang. “Oleh karenanya sekarang pada farm yang saya pegang, telah memakai kipas 24 jam penuh,” tegas Tony. Penggunaan kipas ini sangatlah membantu, seperti halnya tubuh kita jika terkena sinar matahari yang begitu terik kemudian mendapat hembusan angin, maka seketika itu kita akan merasakan kesejukan, karena ada penurunan suhu pada tubuh akibat hembusan angin. Hal ini, terjadi juga pada ayam yang selalu diberi kipas akibatnya suhu tubuh ayam cenderung lebih dingin, atau hal ini biasa disebut dengan efek wind chill.
“Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari pemicu heat stress antara lain adalah bahan atap, dan letak/lokasi kandang. Kandang yang berada dipersawahan jelas tidak akan memberikan hasil yang optimal. Sebab, tanah sawah yang cenderung berair akan menyimpan panas sinar matahari pada siang hari, dan akan mengeluarkan radiasi sinar matahari itu pada malam hari. Bahan atap juga sangat menentukan, karena dapat menyimpan panas matahari, dan akan memencarkan panas pada malam hari. Berikut adalah urutan bentuk atap dari yang menyimpan panas paling tinggi hingga yang rendah: bonet, asbes, genting, seng, galvanum, rumbia,” terang Tony. (YA/Disadur dari Poultry Indonesia Advertorial)