CACING : MENYERANG AYAM DALAM DIAM
Oleh drh. Bagas Kristiadi
Technical Team PT. Novindo Agritech Hutama
Dalam upaya pemeliharaan ternak unggas salah satu ancaman yang sering dianggap remeh adalah kehadiran parasit. Faktanya kehadiran parasit ini dapat menurunkan tingkat produksi ternak dengan berbagai kerugian yang ditimbulkan.
Ayam merupakan komoditas ternak nomor satu di Indonesia. Konsumsi daging ayam dan telur per kapita di Indonesia meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Pada tahun 2022, konsumsi daging ayam di Indonesia berkisar 8.21 kg/kapita dengan estimasi peningkatan menjadi 8.54 kg/kapita pada tahun 2024. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, produksi ayam pedaging di Indonesia mencapai 3.77 ton pada tahun 2022, jumlah ini naik 18.20% dari tahun 2021. Sejalan dengan hal tersebut, data lain dari FAO (2011) mencatat bahwa produksi telur dunia bertumbuh sebesar 350% dalam 50 tahun kebelakang. Permintaan yang tinggi akan daging ayam dan telur ini menuntut peternak untuk terus produktif di tengah rintangan yang ada. Salah satu rintangan dalam produktivitas ayam adalah kemunculan penyakit. Terdapat berbagai jenis agen penyebab penyakit pada ayam, salah satunya adalah cacing. Penyakit yang disebabkan oleh keberadaan cacing disebut dengan helminthiasis atau kecacingan.
Infestasi cacing pada ayam umumnya ditemukan pada saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Cacing dalam dunia perunggasan menurut Taylor et al., (2016) terbagi menjadi tiga jenis yaitu nematoda, cestoda, dan trematoda. Dalam bahasa sehari-hari biasa kita kenal dengan istilah cacing gelang, cacing pita, dan cacing isap. Ketiga jenis cacing tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, baik dalam cara penularan ataupun efek yang ditimbulkan.
Pada cacing nematoda, spesies yang paling umum ditemukan pada ayam adalah Ascaridia galli dan seringkali kita temukan saat cacing ini keluar bersama kotoran pada ayam yang terinfeksi. Penularan terjadi secara langsung, yaitu saat ayam memakan telur infektif dari Ascaridia galli yang keluar bersama dengan kotoran pada hewan yang terinfeksi. Berbeda dengan cacing nematoda, cacing cestoda dan trematoda membutuhkan hewan pembawa (vektor) untuk bisa menginfeksi ayam.
Contoh cacing cestoda yang paling populer dan merugikan pada ayam adalah Raillietina sp, sedangkan untuk cacing trematoda contohnya adalah Philoptalmus gralli. Penularan tidak langsung terjadi jika ayam memakan vektor yang mengandung telur cacing atau vektor meletakkan telur pada pakan ayam , yang nantinya telur tersebut akan berkembang dalam saluran pencernaan ayam.
Terdapat dua faktor utama yang berperan dalam keberadaan cacing di peternakan, yaitu iklim (suhu dan kelembaban) di area kandang dan juga hewan pembawa atau vektor. Siklus hidup cacing, menurut Bryant and Hallem (2018), akan optimal pada suhu 28º-32ºC dengan tingkat kelembaban optimal 60 – 80%. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa prevalensi kecacingan pada daerah beriklim tropis lebih tinggi dibandingkan dengan daerah beriklim sub tropis. Pada area kandang dengan banyak genangan air kelembaban akan cenderung meningkat sehingga menyebabkan siklus cacing akan berjalan optimal. Penularan terhadap cacing pada ayam terjadi dengan dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Cacing cestoda dan nematoda memerlukan hewan lain untuk melengkapi siklus hidupnya, dari berbagai hewan yang merupakan vektor terpenting adalah semut, lalat, dan darkling beetle atau frengki.
Infestasi serangga vektor tersebut pada suatu peternakan ayam akan meningkatkan kemungkinan angka kecacingan, sehingga pengendalian serangga vektor merupakan hal yang penting.
Infestasi cacing pada tipe kandang litter dirasa lebih umum terjadi dibandingkan dengan kandang baterai. Hal ini dikarenakan lebih mudahnya akses tertelannya telur cacing dari kotoran/litter yang secara langsung dapat diakses oleh ayam. Namun demikian, infestasi pada jumlah tertentu akan menimbulkan efek negatif. Efek yang ditimbulkan akan bergantung dari jenis cacing yang menginfeksi serta predileksi cacing tersebut.
Menurut Belete et al (2016) efek yang akan muncul dari kondisi tersebut adalah diare, penurunan ADG, dan penurunan FCR. Pada ayam petelur akan membuat produksi dan kualitas telur menurun, dan kasus tertentu juga hingga ditemukan cacing di dalam telur. Kematian akan muncul pada beberapa kasus dengan infestasi cacing yang parah dikarenakan nutrisi yang tidak terserap maksimal akibat infestasi cacing. Peneguhan diagnosa dilakukan dengan bedah bangkai untuk memeriksa keberadaan cacing pada saluran pernafasan dan pencernaan. Potongan cacing dan cacing utuh dapat dilihat dengan kasat mata, namun dibutuhkan pemeriksaan mikroskopis untuk pemeriksaan telur cacing dalam sampel kotoran.
Pemeriksaan telur cacing dilakukan untuk menentukan dan menghitung seberapa berat infeksi cacing yang sedang terjadi. Pada gambar 4 memperlihatkan perbedaan morfologi telur dari beberapa jenis cacing yang sering menyerang unggas. Penentuan morfologi telur cacing dan penghitungan telur cacing dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop dan pengujian menggunakan gula jenuh. Dalam feses juga terdapat struktur yang cukup mirip dengan telur cacing, yaitu ookista dari Eimeria sp penyebab koksidiosis. Maka dari itu diperlukan kejelian dan pengenalan morfologi yang baik. Tanda lain untuk mendiagnosa tanpa melakukan pembedahan ayam adalah tmengamati adanya potongan proglotid cacing pita yang berada di kotoran segar. Proglotid adalah segmen tubuh dari cacing pita yang apabila cacing telah matang akan berisi telur yang telah dibuahi secara mandiri, segmen ini dapat terlepas dan terbawa oleh kotoran.
Pencegahan kecacingan pada masa modern ini menjadi pilihan utama, jika dibandingkan dengan pengobatan. Hal tersebut dilandasi oleh beberapa pertimbangan seperti biaya pencegahan yang lebih murah dibandingkan dengan pengobatan dan juga keterbatasan sediaan obat menyebabkan resistensi seringkali terjadi dan menjadikan pengobatan kurang efektif. Pencegahan dapat dimulai dengan pembersihan lingkungan secara rutin dan desinfeksi. Alas kandang diupayakan tetap kering dan tidak lembab agar tidak menjadi kondisi yang optimal untuk siklus hidup cacing. Hal selanjutnya yang perlu menjadi perhatian adalah pengendalian vektor. Kegiatan ini bertujuan untuk menekan keberadaan vektor penyakit yaitu lalat, semut, dan dark beetle agar populasinya terkontrol dengan kebersihan kandang yang baik dan juga pemakaian preparat insektisida. Apabila vektor terkendali, maka infestasi cacing pun dapat ditekan.
Anthelminthic merupakan obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi infestasi cacing. pilihan anthelminthic untuk unggas menurut Abongwa et al (2017) sangat beragam, terdapat golongan benzimidazoles (BZs), Imidathiazoles, tetrahydropyrimidines, dan macrocylic lactones (MLs). Mekanisme kerja masing-masing obat tersebut tentu berbeda, begitu pula dengan jenis cacing yang menjadi target. Pemilihan anthelminthic sebaiknya dilakukan setelah mengetahui secara spesifik jenis cacing yang menginfeksi. Hal ini bertujuan agar terapi yang dirancang berjalan dengan efektif. Golongan obat tertentu hanya efektif untuk jenis cacing tertentu saja. Sebagai contoh obat golongan macrocylic lactones dan ivermectin sangat efektif membasmi cacing nematoda namun tidak efektif untuk cacing cestoda. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan komposisi jaringan antara cestoda dan nematoda. Durasi pemakaian obat juga harus diperhatikan.
Pemberian dan pengulangan pengobatan anthelmintic harusnya disesuaikan denngan periode prepaten jenis cacing yang menyerang. Hal ini akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan. Contohnya adalah cestoda, periode prepatennya adalah 12 – 28 hari. Periode prepaten adalah waktu yang diperlukan dari tertelannya telur infektif cacing hingga keluarnya telur baru dari cacing dewasa atau Mmasa dimana cacing dapat melengkapi satu siklus hidupnya. Saat pengobatan pengendalian cestoda, sebaiknya pengulangan dilakukan dalam rentang masa tersebut untuk mencegah siklus cacing berjalan kembali sehingga kemungkinan hasil dari pengobatan tidak tuntas. Pada tabel dibawah ini, tertulis periode prepaten dari masing-masing cacing sebagai pedoman dari pengobatan.